Jumat, 04 April 2008

MENGHADAPI 5 Sifat KHAS BATITA

Si kecil egois, agresif, bossy, penyendiri atau pemalu? Semua itu merupakan sifat khas batita.

Ada alasan mengapa anak batita mulai menunjukkan sifat egois, agresif, bossy, tapi juga suka menyendiri, dan bahkan pemalu. Semuanya wajar asalkan tidak menetap dan sampai menghambat pengembangan dirinya. Untuk itulah sifat-sifat khas tersebut tetap perlu diintervensi agar dapat menempati porsinya yang pas dan memberi kesempatan kepada sifat lain yang lebih baik untuk berkembang sebagai karakter anak. Nah, bagaimana mengintervensi ke-5 sifat tersebut?

1. EGOSENTRIS

Sifat yang umumnya muncul pada usia 15 bulanan (atau saat anak sudah sadar akan dirinya/self awareness) ini disebabkan oleh ketidakmampuan si kecil dalam melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari kaca mata dirinya. Lantaran sifat ini juga, anak batita selalu “here and now.”

Bila ingin sesuatu harus didapat saat itu juga alias tidak mau menunggu. Misal, saat ia minta es krim pada malam hari ya dia enggak mau tahu harus mendapatkannya saat itu juga. Contoh lain, si kecil merebut mainan temannya. Meski temannya menangis, ia tidak peduli karena ia “berprinsip” “saya suka, saya mau, maka saya harus dapatkan”

Bila dilihat dari perkembangan kognitif, sifat egois akan menghilang saat usia anak 6 tahun. Karena semakin besar anak, lingkungan sosial akan menuntut anak untuk sadar akan lingkungan, selain sadar diri. Nah, pada saat usianya menginjak 3 tahun, sebenarnya anak sudah mulai sadar akan tuntutan sosial tersebut namun perlu stimulasi dari orangtua.

Egosentris yang dibiarkan terus---dalam arti anak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa mempertimbangkan adanya aturan-aturan sosial---bisa menetap sampai si kecil beranjak dewasa dan anak akan dicap buruk oleh lingkungan.

Cara menyiasati

Memang masih agak sulit batita diberi pengertian. Meski ada beberapa anak yang sudah bisa. Namun bagaimanapun di usia batita ini orangtua sudah harus menerapkan aturan-aturan disertai pengertian kepada anak bahwa tidak semua keinginan anak harus terpenuhi. Pada contoh kasus es krim di atas, berilah anak pengertian. Misalnya, ”Hari sudah malam, Dek. Mataharinya juga sudah tidur dan tokonya tutup. Saat mataharinya bangun pagi nanti, baru kita bisa beli es krim.” Jadi, yang penting adalah aturan harus diberikan secara konsisten.

2. BOSSY ATAU SUKA PERINTAH

Bossy sebenarnya masih berhubungan dengan sifat egosentris. Sifat ini merupakan kelanjutan dari usia bayi di mana anak sebelumnya selalu diladeni. Saat memasuki usia batita dimana anak sudah tidak lagi bergantung sepenuhnya dengan orang dewasa---dalam arti ia sudah bisa jalan, bicara, dan melakukan apa pun yang diinginkannya-
--anak merasa memiliki otonomi. Sikap otonom ini sering dibarengi dengan sikap menyuruh orang lain demi mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti, “Mbak, ambilin susu” atau “Bukain sepatu.” Kondisi ini bisa “diperparah” bila ada model orang dewasa di sekitar anak yang selalu bersikap bossy, atau memang anak tidak dibiasakan mandiri.

Yang jelas, sifat bossy tidak akan menghilang dengan sendirinya. Karena anak merasa keenakkan. Ngapain capek-capek melakukan sesuatu kalau hanya dengan menyuruh saja, ia mendapatkan apa yang diinginkan? Perilaku suka perintah di usia batita jadi bisa dianggap lucu. Tapi begitu anak sudah lebih besar lagi, percaya deh kalau sifat itu akan menjengkelkan banyak orang sehingga ia akan dijauhi teman-temannya.

Cara menyiasati

- Ajarkan kemandirian (dari hal-hal sederhana) secara bertahap seperti cuci tangan sebelum makan, makan sendiri, buka sepatu dan lain sebagainya.

- Jangan menampilkan sikap bossy pada siapa pun (termasuk pada PRT) karena si kecil akan mudah “terinsiprasi” untuk bertingkah laku yang sama.

- Bila anak sudah kadung bossy dan terbiasa main suruh, coba bangun kemandiriannya dan dorong ia untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Misal, “Dek coba yuk buka sepatunya sendiri. Mama temani.”

3. AGRESIF

Sifat ini sebetulnya sudah tampak sejak usia bayi (terutama pada bayi dengan temperamen sulit). Namun akan semakin kerap kemunculannya di usia batita. Si kecil merasa keinginannya tidak dipahami oleh orang dewasa (berkaitan dengan komunikasi anak batita yang masih terbatas). Agresivitas juga dapat muncul karena kebiasaan. Misal, anak belajar dari pengalamannya jika ia berteriakteriak atau melempar barang maka orang akan memenuhi apa pun yang ia inginkan. Atau kalau ia memukul temannya, maka si teman akan memberikan mainan yang diinginkan kepadanya.

Sifat agresif yang tidak diantisipasi bisa menjadi habituasi dan berlanjut hingga usia dewasa nanti. Di saat usia anak tentunya ia akan dijauhi teman-teman, dicap nakal, sehingga pada akhirnya anak sendiri akan menerima bahwa dirinya “trouble maker” hingga ia besar nanti.

Cara menyiasati

* Saat anak tantrum, peluk atau pegang tangan/badannya. Biarkan ia marah. Setelah kemarahannya reda orangtua bisa tanyakan penyebabnya sesuai dugaan atau perkiraan orangtua. Misal, “Adik pasti sedang marah sekali ya karena ibu tidak beli es krim buat kamu sekarang? Ibu tahu, adik ingin es krim. Tapi hari sudah malam, mataharinya sudah tidur dan tokonya sudah tutup. Kalau mataharinya sudah bangun dan tokonya buka, kita nanti beli sama-sama, ya?” Dalam keadaan emosional, anak batita akan bingung mengatakan apa penyebab rasa kesalnya. Lebih baik, kita yang mendefinisikan perasaannya. Cara ini membuat anak merasa dipahami perasaannya.

* Jangan menanggapi agresivitas anak dengan cara yang agresif pula. Contoh, saat ia memukul temannya, jangan kita malah mencubit anak untuk menghentikan aksinya itu. Benar sih anak tidak akan meneruskan pukulannya, namun anak justru memperoleh gambaran bahwa sikap kasar itu diperbolehkan.

* Beri penjelasan. Memang bukan pekerjaan mudah menjelaskan pada anak batita. Karena hanya sekali diberi tahu tidak akan membuatnya patuh dan melupakan sifat agresifnya. Jangan putus asa, lama-kelamaan jika selalu dijelaskan, anak akan belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu tidak harus dengan sikap agresif.

4. PEMALU

Si kecil kerap bersembunyi di balik kaki ibu/bapak atau terusmenerus memegangi baju kita saat bertemu orang lain? Atau kala ditanya, anak memilih diam dan menundukkan kepala? Kalau memang ya, bisa jadi memang ia pemalu. Namun bisa juga karena ia takut pada orang asing atau tidak terbiasa bertemu dengan orang banyak.

Umumnya, sifat pemalu anak yang karena pembawaan pribadi (diturunkan dari orangtua yang juga pemalu dan tidak suka bersosialisasi) akan terbawa sampai dewasa. Meski tak ada dampak buruk pada anak, namun bisa membuat anak kehilangan peluang dalam dalam berbagai hal, dibandingkan dengan anak yang aktif dan berani. Sifat pemalu juga membuat anak sulit mengembangkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

Cara menyiasati

Untuk menghadapi anak pemalu sebaiknya orangtua sering membawanya untuk bersosialisasi. Latih sejak dini dengan memasukkan anak pada lingkungan sosial dimana banyak anak bermain seperti di taman bermain. Awalnya mungkin anak merasa takut, jadi temani sementara waktu.

Setelah beberapa lama biasanya anak bisa ditinggal dan berbaur bersama anak-anak lainnya. Bisa juga anak diajak ke tempat-tempat pertemuan atau ketika orangtua bertemu dengan kenalan di jalan, anak bisa diminta untuk mengenalkan dirinya atau menyapanya. Misal, “Sayang, kenalin nih. Ini tante Diba. Ayo salam. Beri tahu siapa nama Adek.”

5. PENYENDIRI

Sifat penyendiri pada usia batita---selain dikarenakan perkembangan kognitif anak dalam melihat sesuatu masih dari sudut pandangnya sendiri---perkembangan sosialnya pun masih belum berkembang baik. Anak baru mulai sadar akan adanya tuntutan dari lingkungan sosial di usia 3 tahun ke atas. Lantaran itulah, saat bermain, anak tampak soliter (lebih suka bermain sendiri) meski ada teman di sampingnya. Sifat penyendiri akan menghilang setelah usia batita. Apalagi jika anak sudah berelasi dengan teman-temannya. Namun pada beberapa anak memang sifat penyendiri ini bisa menjadi kebiasaan yang terbawa pula sampai nantinya.

Soal dampak, sebenarnya sifat penyendiri tak jadi masalah. Bahkan hingga usia dewasa pun sebetulnya sifat ini terkadang diperlukan. Karena adakalanya manusia perlu sebagian waktu untuk menyendiri dan sebagian waktunya lagi bersosialisasi. Hanya kalau sifat penyendiri si batita sudah keterlaluan, misal, dia lebih memilih menyendiri sampai 24 jam terus-menerus, ya tidak boleh dibiarkan. Sebab anak tetap perlu beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial yang ada.

Cara menyiasati

Sama seperti halnya anak yang pemalu, orangtua perlu mengajak anak dalam kegiatan bersama dan bersosialisasi. Mulailah dari lingkungan orang dekat, seperti taman bermain dekat rumah yang banyak dikunjungi anak-anak tetangga, dan acara keluarga agar anak mengenal sepupu dari keluarga ayah dan ibunya. Setiap saat, ajaklah anak berkomunikasi dan jangan lupa sediakan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi setiap ujarannya. Semakin ia percaya bahwa kita bersedia menjadi pendengarnya yang sabar, anak akan semakin berani bicara dan lebih bersikap terbuka.

Source : NAKITA
Dedeh Kurniasih

Narasumber:
L.S. Yulia Savitri, M.Psi.,
pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Berkomunikasi dengan Anak? Sulitkah?

Source : Kompas
Oleh : Sawitri Supardi Sadarjoen

KEBANYAKAN orangtua berpendapat, kalau anaknya pendiam atau sibuk bermain sendiri, berarti anaknya manis, penurut, mandiri, dan tidak perlu mendapat perhatian khusus.

Sementara kebanyakan orangtua yang disibukkan oleh anak yang sangat rewel, sering memberi sebutan anak itu nakal, banyak maunya, dan tidak menurut.

Terhadap anak yang pendiam, mandiri, dan selalu menyiapkan keperluan sekolah sendiri, orangtua merasa segala hal sudah tercukupkan karena anak tersebut memang pada dasarnya anak manis yang penurut dan tahu akan kewajibannya.

Namun, dapat terjadi orangtua dikejutkan perilaku anak yang semula manis, penurut, dan tahu kewajiban tersebut tiba-tiba mogok sekolah, tidak kooperatif, serta menunjukkan sikap melawan orangtua. Apa pun yang disarankan orangtua seolah mental dan tidak berpengaruh. Anak jadi mengurung diri dan baru keluar kamar bila lapar atau perlu ke kamar mandi.

Orangtua menjadi bingung. Anak dimarahi dan dibentak dengan ungkapan, "Ngomong dong, ada apa, kenapa enggak mau sekolah!" Bahkan dipukul sekalipun anak bergeming, malahan bisa mengatakan, "Bunuh saja saya sekalian." Walaupun, setelah beberapa saat anak akhirnya mau membuka mulut, menceritakan sepintas kenapa dia mogok sekolah.

Ternyata anak mendapat pelecehan dari teman-teman di kelas, dimusuhi sebagian besar teman kelasnya, bahkan dikata-katai. Tekanan emosional yang dialami anak sudah sedemikian besar dan tidak tertanggulangi lagi sehingga anak memutuskan mogok sekolah. Apa pun upaya orangtua dan guru untuk menarik kembali anak ke sekolah tidak berhasil. Anak tetap mengurung diri dengan konsekuensi tidak naik kelas. Sementara untuk pindah sekolah dan tidak naik kelas menuntut upaya khusus bagi anak dalam beradaptasi. Masalah semakin kompleks bagi anak di kemudian hari, apalagi bila kemudian ia juga mengalami kesulitan adaptasi dengan lingkungan baru.

Menyimak kasus anak mogok sekolah tersebut, kita dapat menyimpulkan, di balik perilaku mogok sekolah yang dilakukan anak tersebut, tersirat masalah yang lebih serius, yaitu kenyataan selama ini anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orangtua.

Andaikan anak terbiasa terbuka kepada orangtua dan mampu dengan lancar mengutarakan perasaan dan pengalaman di sekolah, maka sebelum masalah yang dialami menjadi separah itu, orangtua dengan cepat bisa meminta guru membantu anak mengatasi masalah pelecehan yang dilakukan teman sekelas terhadap anak tersebut sehingga terhindar dari kemungkinan ekses dari pelecehan tersebut terhadap kelanjutan studi anak.

Yang terpenting, anak merasa didengar dan didukung orangtua manakala ia membutuhkan. Perasaan ini merupakan esensi dari rasa aman anak yang dibutuhkan bagi tumbuh kembang kepribadian anak di kemudian hari.

Mendengar anak

Mendengar efektif bukan hal mudah. Anak-anak dan remaja sering mengamati, orangtuanya tidak mendengarkan apa yang mereka ungkapkan.

"Ibu saya selalu teriak kalau saya baru akan mengutarakan perasaan saya secara jujur."

"Ayah saya lebih mendengarkan kakak daripada saya, jadi saya lebih baik diam saja."

Sebaliknya, orangtua juga mengatakan seperti berikut:

"Kalaupun saya bertanya, anak nomor dua ini tidak pernah bercerita apa pun tentang sekolahnya."

"Setiap kali saya mulai bicara tentang sesuatu yang penting, dia hanya menjawab, 'Ah, Papah', sambil terus pergi meninggalkan saya."

Menyimak contoh komunikasi tersebut, kita dapat menyimpulkan, baik anak, remaja, maupun orangtua membutuhkan dirinya diterima dan dihargai baru mereka dapat menjalin komunikasi efektif. Biasanya, daripada merasa ditolak, mereka lebih memilih menghindari komunikasi sehingga terciptalah iklim relasi yang dingin, tidak hangat, tidak terpercaya, dan seperlunya.

Cara meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan anak, antara lain:

1. Ciptakanlah situasi yang nyaman dengan anak, sekitar 15 menit. Misalnya, saat-saat sebelum makan malam atau sesudah makan malam dengan mengawali komunikasi tentang hal-hal ringan sambil tidak memaksa anak bicara.

Saat akhir minggu mintalah anak memilih permainan atau aktivitas yang anak sukai dan bisa dilakukan bersama orangtua. Misalnya, bermain ular tangga atau main kartu remi (cangkulan) yang juga bisa diikuti anak yang lain. Atas dasar pengalaman bermain santai, anak akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa percaya kepada orangtua dan merasa diterima kehadirannya di hadapan orangtua.

2. Mulailah mendengar dan saling berbagi cerita, bisa bergantian menceritakan artikel yang dibaca atau mulai mendengar keluhan anak tanpa mengadili atau memberikan saran apa yang harus dilakukan anak.

3. Lakukan kontak mata yang luwes dan bersahabat saat mendengar cerita anak.

4. Jadilah diri sendiri apa adanya, artinya tidak perlu menjaga gengsi sebagai orangtua. Bersikaplah rileks dan tanggapilah ungkapan dan pendapat anak dengan sikap terbuka dan jujur. Tidak perlu harus menunjukkan wibawa orangtua selalu benar. Terkadang anak juga ingin melihat orangtuanya bisa salah. Bila ternyata pendapat orangtua salah, cobalah bersama anak mencari jawaban yang benar sehingga anak akan merasa dihargai. Perasaan dihargai akan menunjang peluang berkembangnya perasaan dipercaya dan terpercaya.

Dengan memperbaiki komunikasi dengan anak dan meluangkan perhatian khusus kepada anak yang justru pendiam dan tampak bersikap manis, upaya preventif orangtua terhadap kemungkinan terjadinya gangguan perilaku anak, seperti mogok sekolah atau berbohong, akan berhasil secara optimal. Semoga.

Jika Balita Anda Berbohong

Source : milist

Sebenarnya, anak-anak, sampai usia tiga atau empat tahun yang mengatakan sesuatu yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan tidak dapat dikatakan berbohong. Sebab, mereka sebenarnya belum benar-benar dapat membedakan antara realitas dengan khayalan. Artinya, anak-anak seusia itu belum bisa menangkap arti konsep 'berkata jujur' dan 'berkata bohong'.

Berikut ini adalah beberapa penyebab anak berbohong,
Imaginasi yang Aktif, beberapa anak memiliki daya imajinasi yang tinggi, kadang-kadang anak ini menganggap imajinasi mereka sama seperti kenyataan, sehingga mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya berasal dari imajinasi mereka.

Pelupa, anak-anak balita belum memiliki daya ingat sebaik orang dewasa. Jika misalnya Anda memarahi anak Anda karena mencorat-coret dinding dengan krayon dan anak Anda yang berusia dua tahun menyangkalnya, ia tidak bisa dibilang berbohong, mungkin ia benar-benar lupa, atau jika ia ingat, ia benar-benar berharap bukan ia yang melakukannya karena ia tidak ingin Anda marahi. Mungkin juga karena mereka belum mampu memisahkan pikirannya dengan kenyataan.

'Sindroma Malaikat', sering terjadi pada anak yang terlalu dimanjakan oleh orangtuanya, sehingga ia jadi yakin bahwa ia tak mungkin berbuat kesalahan dan kemudian mempercayainya. Jalan pikiran anak seperti itu kira-kira begini: 'Ayah dan Ibu sangat sayang kepada saya karena saya adalah anak baik. Anak baik tak mungkin mencoret-coret tembok seperti itu. Jadi tak mungkin saya yang mencoret-coret tembok (padahal memang ia yang melakukannya)
'.

Apa Yang Harus Dilakukan?
Wajar jika Anda cemas jika anak Anda 'berbohong' - orang tua mana yang menginginkan anaknya jadi pembohong? Tetapi, cara terbaik menghadapi 'kebohongan' anak kecil adalah sikap relaks, dan menganggapnya sebagai dongeng versinya sendiri. Toh, Anda juga sering menceritakan dongeng, yang notabene juga tak sesuai dengan kenyataan. Jadi, kenapa anak Anda tak boleh mendongeng juga? Lagipula, kebohongan mereka - menurut Berry Brazelton, dokter anak terkenal dan penulis buku Touchpoints - merupakan bagian dari perkembangan yang normal.

Karena itu, Anda tak perlu menghukkum jika mereka berbohong, tetapi Anda dapat melakukan beberapa hal untuk mengajarkan nilai-nilai kejujuran, seperti:
Menghargai Kejujuran, jangan marah-marah jika anak Anda mengaku telah berbuat salah, karena ia akan berpikir kejujuran malah berakibat negatif baginya. Lebih baik katakan terima kasih karena ia telah berkata jujur.

Jangan Menuduh, gunakan kalimat yang akan mengundang pengakuan. Daripada berkata 'Pasti Roni yang mencoret dinding!', lebih baik Anda berkata 'Siapa yah yang mencoret dinding? bantu Mamah membersihkannya yuk..!'.

Jangan Membebani Anak, jika menerapkan sejumlah aturan dan larangan, kemungkinan besar mereka belum mampu memahami atau mengikuti aturan dan larangan tersebut. Mereka akan terpancing berkata bohong jika berbuat salah untuk menghindari amarah Anda.

Bangun Kepercayaan, buat anak mengerti, Anda mempercayainya, dan Anda juga bisa dipercaya. Caranya adalah dengan selalu berkata jujur kepada mereka. Misalnya, jika anak Anda sakit dan harus disuntik, jangan mengatakan disuntik itu tidak sakit, karena beberapa detik kemudian ia akan segera tahu bahwa kata-kata Anda tidak benar. Juga, cobalah menepati semua janji Anda kepadanya, dan meminta maaf jika Anda tidak bisa menepatinya.

Ekspresikan Kasih Sayang di Tengah Kesibukan

source : milist

Anak-anak, terutama balita, amat membutuhkan perhatian orangtuanya, coba saja perhatikan, apabila Anda sibuk melakukan sesuatu dan seperti mengabaikan balita Anda, pasti ada saja ulah yang ia lakukan untuk menarik perhatian Anda. Dan, itu biasanya berupa kenakalan atau perbuatan yang menjengkelkan, sehingga biasanya amarah Anda pun terpancing.

Bila rangkaian proses ini selalu berulan, Anda sibuk, anak berulah, Anda marah, lalu kembali ke kesibukan Anda, apa yang mungkin dirasakan oleh anak Anda? Belum lagi jika ucapan-ucapan yang bernada mencap keluar dari mulut Anda, seperti misalnya "dasar anak nakal!", atau "kamu ini memang tidak bisa dibilangin!"
. Ucapan seperti itu, selain tak ada gunanya karena tak akan memperbaiki tingkah laku anak, juga membentuk konsep diri negatif pada diri anak. Anak yang dicap nakal bisa benar-benar menjadi nakal karena ia merasa dirinya anak nakal dan kemudian malah akan bertingkahlaku sesuai dengan "cap" yang ia terima.

Jalan yang terbaik untuk mengatasi ulah balita ini adalah dengan memberi apa yang sedang ia butuhkan. Jika ia bertingkah, hentikan sejenak pekerjaan Anda dan luangkan waktu untuk menunjukkan bahwa Anda memperhatikan dan menyayanginya. Peluklah ia, ajak bicara sebentar, dan katakan secara gamblang bahwa Anda menyayanginya. Lalu, jelaskan kepadanya Anda harus menyelesaikan pekerjaan, dan akan kembali bermain dengannya jika sudah selesai.

STOP BULLYING!

Bully
Belakangan ini seringkali kita dengar istilah Bullying
Sebenarnya, apa sih yang disebut dengan Bullying ?

Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl)berupa stres (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya). Apalagi Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa “menyelesesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan disalahkan. Dengan penekanan bahwa bully dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya.

Bentuk Bully terbagi dua, tindakan langsung seperti menyakiti, mengancam, atau menjelekkan anak lain. Sementara bentuk tidak langsung adalah menghasut, mendiamkan, atau mengucilkan anak lain. Apapun bentuk Bully yang dilakukan seorang anak pada anak lain, tujuannya adalah sama, yaitu untuk “menekan” korbannya, dan mendapat kepuasan dari perlakuan tersebut. Pelaku puas melihat ketakutan, kegelisahan, dan bahkan sorot mata permusuhan dari korbannya.

Karakteristik korban Bully adalah mereka yang tidak mampu melawan atau mempertahankan dirinya dari tindakan Bully.

Bully biasanya muncul di usia sekolah. Pelaku Bully memiliki karakteristik tertentu. Umumnya mereka adalah anak-anak yang berani, tidak mudah takut, dan memiliki motif dasar tertentu. Motif utama yang biasanya ditenggarai terdapat pada pelaku Bully adalah adanya agresifitas. Padahal, ada motif lain yang juga bisa dimiliki pelaku Bully, yaitu rasa rendah diri dan kecemasan. Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defence mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi perasaan rendah diri dan kecemasannya tersebut. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully bukan tak mungkin berlanjut ke bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis.

Ada yang menarik dari karakteristik pelaku dan korban Bully. Korban Bully mungkin memiliki karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa takut, rendah diri, yang kesemuanya itu (masing- masing atau sekaligus) membuat si anak menjadi korban Bully. Akibat mendapat perlakuan ini, korban pun mungkin sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami.

Selanjutnya, bukan tak mungkin, korban Bully, menjadi pelaku Bully pada anak lain yang ia pandang sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk mendapat kepuasan dan membalaskan dendam. Ada proses belajar yang sudah ia jalani dan ada dendam yang tak terselesaikan. Kasus di sekolah-sekolah, dimana kakak kelas melakukan Bully pada adik kelas, dan kemudian Bully berlanjut ketika si adik kelas sudah menjadi kakak kelas dan ia kemudian melakukan Bully pada adik kelasnya yang baru, adalah contoh dari pola Bully yang dijelaskan di atas.

Tindakan Bullying bisa terjadi dimana saja, terutama tempat-tempat yang tidak diawasi oleh guru atau orang dewasa lainnya. Pelaku akan memanfaatkan tempat yang sepi untuk menunjukkan “kekuasaannya” atas anak lain, agar tujuannya tercapai. Sekitar toilet sekolah, pekarangan sekolah, tempat menunggu kendaraan umum, lapangan parkir, bahkan mobil jemputan dapat menjadi tempat terjadinya Bullying.

Sebagai orang tua, kita wajib waspada akan adanya perilaku bullying pada anak, baik anak sebagai korban atau sebagai pelaku. Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :

A.Anak Menjadi Korban
Tanda-tanda :
1.Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban).
2. Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan bullying yang terjadi pada anak.

Penanganan :
1. Usahakan mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian tersebut bukan kesalahannya.
2. Bantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Pastikan anda menerangkan dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti anak.
JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying yang ia alami.
3. Mintalah bantuan pihak ketiga (guru atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu. Untuk itu bukalah mata dan hati Anda sebagai orang tua. Jangan tabu untuk mendengarkan masukan pihak lain.
4. Amati perilaku dan emosi anak anda, bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi pelaku di kemudian waktu). Bekerja samalah dengan pihak sekolah (guru). Mintalah mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan emosi atau fisik anak anda. Waspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan anak anda di rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua / guru / pengasuh).
5. Binalah kedekatan dengan teman-teman anak anda. Cermati cerita mereka tentang anak anda. Waspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
6. Minta bantuan pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.

Pencegahan :
1. Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang dewasa / guru / orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis.
a. Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.
b. Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.
2.Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a. Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.
3.Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak terulang.
4. Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :
a. Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya.
b. Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
c. Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia alami.

B. Anak sebagai Pelaku
Tanda-tanda :
1. Anak bersikap agresif, terutama pada mereka yang lebih muda usianya, atau lebih kecil atau mereka yang tidak berdaya (binatang, tanaman, mainan).
2. Anak tidak menampilkan emosi negatifnya pada orang yang lebih tua / lebih besar badannya / lebih berkuasa, namun terlihat anak sebenarnya memiliki perasaan tidak senang.
3. Sesekali anak bersikap agresif yang berbeda ketika bersama anda.
4. Melakukan tindakan agresif yang berbeda ketika tidak bersama anda (diketahui dari laporan guru, pengasuh, atau teman-teman)
.
5. Ada laporan dari guru / pengasuh / teman-temannya bahwa anak melakukan tindakan agresif pada mereka yang lebih lemah atau tidak berdaya (no. 1).
6. Anak yang pernah mengalami bully mungkin menjadi pelaku bully.

Penanganan :
1. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
2. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
3. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.

Pencegahan :
1. Anak dapat menjadi pelaku bullying antara lain bila si anak mengalami rasa rendah diri. Karena itu, upayakan untuk mendidik anak dalam suasana penuh kasih sayang yang mendidik anak untuk memiliki kebanggaan pada dirinya sendiri. Kasih sayang yang nyata juga membuat anak merasa aman dan cenderung lebih mau bekerja sama dengan orang tua / guru. Namun hati-hati jangan sampai memanjakan anak yang berdampak kerugian di pihak anak.
2. Waspada jika anak menunjukkan agresifitas yang berlebihan, terutama pada mereka yang lebih lemah (adiknya, pengasuh, teman bermain yang lebih kecil atau pendek badannya) atau bahkan binatang, tanaman dan mainannya.
3. Jika anak anda pernah menjadi korban bully, untuk mencegah ia menjadi pelaku bullying di kemudian hari, mintalah bantuan ahlinya agar masalah terselesaikan dengan baik dan tidak ada dendam di kemudian hari. Amati perilaku dan kondisi emosi anak dari waktu ke waktu, bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu.
4. Usahakan selalu bersikap terbuka dan rajin berdiskusi dengan anak tentang berbagai hal. Selalu siap memberi komentar positif dan hindari menghakimi anak.Namun jangan sampai “mencelakakan” anak dengan memanjakan anak berlebihan.

Tulisan ini diharapkan cukup memberi gambaran mengenai bullying, bahayanya dan cara-cara penanganan dan pencegahan yang praktis untuk dilakukan. Dan karena itu STOP BULLYING!

sumber: Dian P. Aldilla, Psi

Jangan Rusak Perkembangan Anak

source :Pikiran Rakyat

TUGAS orang tua sebetulnya bukanlah mempercepat tumbuh kembang anak, tetapi membantu tumbuh kembang anak.

"INGIN mencetak anak cerdas, kreatif, dan genius? Temukan caranya di sini! Kembangkan bakat kecerdasan anak Anda sejak dini melalui konsep multiple inteligence! Flash card, cara ampuh untuk mengajari anak Anda membaca sejak dini!" Demikian bunyi pesan-pesan sponsor di media yang kerap terdengar. Derasnya informasi seperti ini umumnya
memiliki niatan serupa: menjanjikan percepatan tumbuh kembang untuk menjadikan seorang anak menjadi anak berbakat, genius, atau cerdas.

Teori perkembangan dan pembelajaran yang diterapkan serta tren pendidikan di Indonesia pun kini semakin beragam. Sekolah-sekolah plus dan program pendidikan sejak usia dini kian menjamur.

Namun, apakah semua informasi, metode, maupun kurikulum pendidikan yang beragam dan banyak ditawarkan tersebut cocok untuk si anak? Bagaimana kita menyikapi derasnya iming-iming produk percepatan tumbuh kembang, teori, dan tren pendidikan yang ada tersebut? Permasalahan ini diungkap secara mendalam dalam seminar online WRMommies yang ke-4 dengan tema "Peranan Orang tua dan Praktisi
dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori & Trend Pendidikan" pertengahan November 2005 lalu. Adi D. Adinugroho M.A., selaku narasumber, kini sedang menyelesaikan program doktoral dalam bidang special education di Purdue University, Amerika Serikat. Sedangkan nara sumber kedua, Dr. drg. Julia Van Tiel Ms. Yang memiliki anak berbakat, kini bermukim di Belanda. Peserta seminar kali ini dibatasi hingga 358 peserta, yang tersebar di berbagai benua, Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan
Afrika. Peserta terbanyak tentu saja dari Indonesia, Jakarta khususnya.

Kedua narasumber mengatakan, akibat maraknya informasi yang
menjanjikan paket untuk mencerdaskan anak tersebut, orang tua kerap menjadi "panas". Orang tua merasa khawatir dan panik karena perkembangan anaknya tidak "secepat" perkembangan anak lainnya.

Padahal, proses tumbuh kembang adalah proses individual dan bukan merupakan suatu "lomba balap" siapa cepat dia paling super.

Intervensi berlebihan kepada anak dengan membombardir mereka melalui
beragam paket tumbuh kembang yang menggiurkan, tanpa disadari malah
dapat menjadi tindak penganiayaan fisik dan psikis bagi anak.

Kesalahan persepsi

Bila dipandang dari pengertian ilmu keberbakatan ilmiah atau scientific, sebetulnya telah terjadi miskonsepsi tentang pengertian keberbakatan (giftedness) di masyarakat. Menurut Julia Van Tiel dalam makalahnya yang berjudul "Pengembangan Keberbakatan Gifted Children," anak berbakat (gifted children) adalah mereka yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh ahli keberbakatan di dunia. Seorang anak berbakat haruslah memiliki inteligensia yang
tinggi di atas rata-rata (IQ > 130), kreativitas yang tinggi, motivasi, serta komitmen kerja yang tinggi.

Faktor inteligensia adalah faktor yang stabil, sulit dipengaruhi dari luar karena merupakan faktor bawaan (genetik). Sementara, kreativitas dan motivasi merupakan faktor yang dapat dipengaruhi dari luar (lingkungan)
. Jadi, slogan yang mengatakan "semua anak pada dasarnya cerdas atau berbakat" adalah sangat keliru, karena jauh dari berbagai temuan ilmiah tentang tumbuh kembang anak.

Selain itu, teori perkembangan dan pembelajaran yang masih
kontradiktif seperti teori multiple inteligence (MI) milik Howard Gardner, juga banyak dijadikan landasan pegangan sekolah-sekolah maupun panduan tumbuh kembang anak di Indonesia. Padahal, para akademisi pendidikan di dunia internasional telah menyatakan bahwa teori MI ini masih belum bisa dibuktikan pengukuran dan pembuktian
empirisnya (pseudoscience). Yang dijelaskan oleh Gardner hanyalah kedelapan intelligence (keping-keping intelektual) miliknya tersebut. Sejauh ini belum ada sistematika dan acuan aplikasi teori MI. Begitu pula dengan alat pengukur keping-keping intelektual yang dijabarkan dalam MI. Parameter pengukur kemajuan kepingan intelektual tersebut dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan anak secara menyeluruh serta dampaknya terhadap intelektual-intelektual lainnya pun belum ada.

Apakah memang MI ini benar dapat memberikan manfaat?

Project Zero, projek penelitian milik kelompok Gardner sudah belasan tahun tidak pernah menghasilkan bukti empiris. Bukti-bukti yang diberikan Gardner hanyalah berbagai testimoni dari para guru kelas. Akibatnya,
yang terjadi di lapangan adalah trial and error, terserah kepada praktisi lapangan bagaimana menginterpretasi MI. Bahayanya, selain hanya membuang-buang waktu, kita juga tidak tahu lagi kapan harus berhenti menstimulasi. Padahal, hal ini bisa jadi malah menimbulkan abusing terhadap anak.

Menjadi advokat tangguh

Jadi bagaimana menyikapi segala persoalan ini? "Hal penting yang perlu diingat adalah, tugas orang tua sebetulnya bukanlah
mempercepat tumbuh kembang anak, tetapi membantu tumbuh kembang anak. Kita tidak bisa menciptakan, mempercepat, maupun mengabaikan tahapan kesiapan anak di dalam proses tumbuh kembang. Karena semua itu merupakan suatu keunikan individu. Tentu boleh menetapkan harapan pada seorang anak, namun tetap harus melihat tahapan perkembangan berdasarkan range usia, kondisi anak, dan tahapan pertumbuhannya. Untuk itu, kita perlu memahami prinsip tumbuh kembang, memahami teori-teori dasar tumbuh kembang dan pembelajaran," tulis Adi. D. Adinugroho dalam makalahnya yang berjudul "Membantu Tumbuh Kembang Anak dengan Memahami Teori & Trend
pendidikan".

Adi pun menganjurkan, untuk mengendalikan arus informasi yang dikemas secara masif dan ekstrapersuasif tersebut, jadilah advokat yang tangguh bagi anak-anak kita. Menjadi advokat tangguh berarti selalu kritis dalam menyerap serta memilah informasi. Jadi, kita bisa tahu persis apakah metode tersebut benar-benar efektif atau hanya "kelihatannya efektif" tapi tidak bisa diukur. Alhasil,
keputusan bisa diambil dengan meminimalkan risiko trial and error.

Jangan lupa, kita perlu selalu mempertimbangkan kepentingan anak, menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan anak, serta mengkaji dampak positif maupun negatif bagi kelangsungan hidup mereka di masa depan.
Dengan demikian, anak pun dapat menikmati proses tumbuh kembangnya dengan baik, karena tak lagi merasa terbebani dengan "lomba balap" yang kerap diciptakan orang tua maupun lingkungannya.

"Aku Bisa,.. Mama"

Oleh: Dra. Adriani Purbo Psi. MBA

“Hore.. Aku bisa ma”,
“Aku berhasil melakukannya sendiri ma”,
Ungkapan-ungkapan seperti diatas merupakan beberapa contoh ungkapan kegembiraan anak saat ia berhasil menyelesaikan suatu tugas atau tantangan. Bagi anak usia di bawah 3 tahun, keberhasilan membuat suatu gambar sederhana, bisa minum atau menyuap makanannya sendiri, bisa memakai dan melepas baju atau sepatunya sendiri, merupakan contoh-contoh keberhasilan anak dalam proses menuju pribadi yang mandiri.

Peran orangtua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orangtua dan latihan-latihan ketrampilan menuju kemandiriannya.

Sikap positif yang dimaksud disini adalah, adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi pribadi mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak. Contoh sikap yang positif, adalah memuji, memberi semangat atau memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha mandiri yang dilakukan anak. Sehingga di dalam diri anak akan tumbuh perasaan berharga, yang membuat anak memiliki kepercayaan diri, dimana hal ini sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang anak selanjutnya. Betapapun kotornya anak pada saat ia mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba memakai pakaiannya sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus kaki dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti mencela atau meremehkan anak. Karena apabila orangtua/lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha anak untuk mandiri, maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti anak bisa tumbuh menjadi seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung jawab, tidak termotivasi untuk mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Selain itu, untuk menjadi pribadi mandiri, seorang anak juga perlu mendapat kesempatan untuk berlatih secara konsisten mengerjakan sesuatu sendiri atau membiasakannya melakukan sendiri tugas-tugas yang sesuai dengan tahapan usianya. Orangtua atau lingkungan tidak perlu bersikap terlalu cemas, terlalu melindungi, terlalu membantu atau bahkan selalu mengambil alih tugas-tugas yang seharusnya dilakukan anak, karena hal ini dapat menghambat proses pencapaian kemandirian anak. Kesempatan untuk belajar mandiri dapat diberikan orangtua atau lingkungan dengan memberikan kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya. Namun demikian peran orangtua atau lingkungan dalam mengawasi, membimbing, mengarahkan dan memberi contoh teladan tetap sangat diperlukan, agar anak tetap berada dalam kondisi atau situasi yang tidak membahayakan keselamatannya. Bagi anak-anak usia dini, latihan kemandirian ini bisa dilakukan dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri, dan sebagainya.

Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak. Untuk menjadi pribadi mandiri, memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-
ketrampilan yang lebih kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan mental yang lebih tinggi. Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri itulah diperlukan sikap bijaksana orangtua atau lingkungan agar anak dapat terus termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya.